Sabtu, 30 Mei 2009
Tentang beberapa komentar di Blog Istriku
Beberapa komentar tertera di blog istriku, http://irnanarulita.blogspot.com. Begini isi komentarnya:
Bu, selama ini perempuan selalu dinomorduakan. Beberapa orang bilang bahwa perempuan seharusnya mengurus rumah tangga, dan tidak terlibat dalam politik. Sebab dalam rumah tangga banyak persoalan yang harus dihadapi. Politik terlalu berat bagi seorang perempuan. Tapi sekarang sudah berubah zaman. Banyak perempuan yang menjadi pemimpin. Benazir Bhutto, Corazon Aquino, Arroyo adalah beberapa contoh pemimpin perempuan. Tapi mereka pintar, cerdas, visioner, dan sukses dalam membangun rumah tangga. Sudah itu suami mereka pun telah berjasa membangun kesejahtraan dan kemajuan di negaranya, tidak mengambil keuntungan dari negara itu. Bagaimana dengan ibu? Saya melihat ibu agak susah untuk menjadi pemimpin. Pertama, ibu belum selesai membangun rumah tangga. Ibu masih blm bisa memberi hal yg terbaik untuk suami. Minimal nasihat untuk suami. Suami ibu masih bertindak semena-mena, haus kekuasaan, dan brprilaku rakus dan serakah. Kedua, kapasitas ibu untuk menjadi pemimpin kayaknya blm memadai. Ini bukan merendahkan ibu. Jika ibu masih mengumbar ego ibu utk mnjdi pemimpin Pandeglang, maka saya yakin Pdg tidak akan maju, dan akan semakin ketinggalan oleh kabupaten lain. Karena itu, untuk kebaikan Pandeglang ke depan, saya harap ibu tidak ambisi untuk menjadi pemimpin di sini. Berikan kesempatan kepada yg lain untuk berbuat lebih baik. Ini demi Pdg yg kita cintai. Ibu, saya setuju perempuan menjadi pemimpin, tapi tentu saja perempuan yang cerdas, pintar, visioner, dan baik hati. Bukan perempuan yang lips service, suka basa-basi, pura2 pintar dan baik, sok ngomong islam padahal tidak islami, dan haus kuasa. Naudzubillah..
Kemudian muncul komentar: Saya setuju... ibu lebih pantas jadi pemimpin rumah tangga. Soalnya kepala rumah tangganya sendiri sudah tidak efektif memimpin rumah tangga. Kepala rumah tangga sibuk memikirkan diri sendiri, memikirkan kepentingan kekuasaan. Jadi, jangankan memikirkan masyarakat secara keseluruhan, memikirkan urusan rumah tangga saja sudah tidak bisa. Saya jadi ingat sebuah ayat Al-Qur'an: Ku anfusakum waahlikum naaro. Jadi tolong jangan bawa masyarakat Pandeglang masuk ke dalam siksa panas neraka...
Yang lebih menyakitkan lagi komentar seperti ini: Di Pandeglang ini masyarakat tumbuh dan berkembang di bawah penguasa diktator seperti di era kejayaan Stalin, di mana penguasa menjalankan roda pemerintahan dengan semena-semena, di mana penguasa bertindak seperti Tuhan, di mana penguasa kehilangan akal sehat dan hati sudah tertutup rapat, di mana kekuasaan adalah segalanya. Ya, di Pandeglang ini kita menyaksikan penguasa komunis yang bersorban. Jika di masa Stalin agama dianggap sebagai kesadaran palsu dan dirasa sudah tidak berarti, maka bagi penguasa di Pandeglang ini agama menjadi sangat berarti sebagai alat untuk menipu dan membohongi masyarakat. Jadi apa bedanya agama yang dianggap sebagai kesadaran palsu dan agama yang dipakai sebagai alat untuk menipu dan membohongi?
***
Itulah komentar di blog istriku. Itu sungguh menyakitkan. Tapi komentar di atas memang benar adanya. Aku memang tak pantas memimpin Pandeglang ini. Pandeglang ini semestinya dipimpin oleh orang yang jujur, cerdas, dan visioner. Orang sepertiku sebenarnya lebih pantas menjadi pemain film atau sinetron. Banyak orang bilang kepadaku kalau wajahku mirip Mr. Bean. Sejak kecil aku memang punya cita-cita menjadi pemain film atau sinetron. Mungkin setelah masa jabatan bupati berakhir, aku akan mencobanya. Aku akan mendaftar sebagai anggota Vivid film, menjadi pemain Blue film. Aku memang pantas…
Adakah Yang Lebih Indah di Pandeglang?
Adakah yang lebih indah di Pandeglang ini?
Infrastruktur yang tak utuh
dan uang bergemuruh di rekening sendiri
Adakah yang lebih indah di Pandeglang ini?
Pelayanan kesehatan yang tak bertaji
sesumbar janji
para penghuni yang kurang gizi
Adakah yang lebih indah di Pandeglang ini?
Pendidikan rapuh
Tak bervisi
Tak berisi
Penuh mafia dan anjing yang haus harta
Pembacaku, masih bersamaku: Dimyati Natakusumah. Lelaki paling lucu, imut, ganteng dan tentu saja perkasa. Sudah lama tulisanku tak muncul. Aku sibuk dengan urusanku, dengan kekuasaanku agar tak jatuh; sibuk menghabiskan uang rakyatku untuk menyuap para pelaku hukum; sibuk memenuhi keinginan istriku agar duduk di kursi kehormatan; dan sibuk mencuri kekayaan di tanah ini karena sebentar lagi kuasaku akan terhenti. Sungguh, tak ada keinginan pada diriku untuk membangun atau memperbaiki infrastruktur di tanah ini, tak ada cita-cita untuk mencerdaskan para penghuni di sini.
Tetapi di tulisan ini aku tak ingin bercerita banyak tentang kehidupanku saja. Kini aku ingin bercerita tentang anjingku. Anjingku yang tak beda denganku: lucu, ganteng, imut meski buntet, rakus, dan sedikit buduk. Ia selalu menuruti keinginanku, setiap perintah tak pernah dibantah. Bahkan untuk menjilat bokongku saja, ia pasti mau. Anjingku itu bernama Taufik Hidayat
Anjing yang bernama Taufik Hidayat itu kutempatkan di Diknas atau Dindik Pandeglang, sebagai Kadis. Kadis Taufik Hidayat. Kalian tahu Diknas atau Dindik? Sebuah institusi pendidikan yang penuh tumpukan proyek. Sengaja anjingku ditempatkan di institusi itu karena menguntungkan diriku dan keluargaku. Setiap ada proyek dari Diknas pusat, anjingku itu selalu melapor kepadaku. Aku pasti mengambil keuntungan dari proyek itu. APBD yang diprioritaskan untuk pendidikan di tanah ini, aku yang mengaturnya. Ya, sekecil apapun proyek, aku selalu mengambil keuntungan dari proyek itu. Anjingku itu hanya menjadi pendengar dan tak sedikit pun bicara. Ia hanya mengangguk-angguk dan terserah padaku.
Anjingku itu selalu membuatku senang. Bayangkan saja, setiap sekolah (dari mulai SD hingga SMA) di tanah ini pasti ada baliho diriku dan istriku. Konon kabarnya, setiap Kepala Sekolah diintruksikan anjingku untuk membeli baliho (harganya 100 ribu) dan wajib memajang baliho itu di depan sekolah (di tempat yang paling strategis).
Selain anjingku yang bernama Taufik Hidayat, ada juga anjingku yang selalu menuruti keinginanku. Meski anjing itu buduk dan kurapan, ia begitu taat kepadaku. Ia seakan-akan menganggapku sebagai Tuhan. Ia tak pernah protes. Ia bernama Tubagus Sudrajat. Ia penanggung jawab proyek infrastruktur jalan di tanah ini. Saking patuhnya kepadaku, sekecil apapun proyek infrastruktur di sini senantiasa ngomong kepadaku. Dan ketika aku mengambil keuntungan dari proyek itu, ia hanya terdiam dan menjulur-julurkan lidahnya. Pembacaku, masih banyak anjing-anjingku yang berkeliaran di tanah berkah ini..
Pengikut
Arsip Blog
Mengenai Saya
- Pandeglang_Kita
- Pandeglang, Banten, Indonesia
- Namaku Ahmad Sampurna. Aku lahir di Pandeglang, 20 Nopember 1980. Kuliah di Jurusan Matematika IKIP Jakarta, dan lulus pada thn 2002. Kini mengajar di SMP Cimanuk. Jujur, aku kecewa dan sedih melihat kondisi pendidikan Pandeglang yang rapuh. Infrastruktur pendidikan yg acak adut, ada kesan pelakunya (perhatikan Kadis dan Bupati) lebih mengutamakan kepentingan diri. Lebih parah lagi, ada sebuah upaya penggiringan (dominasi) yg dilakukan penguasa kepadaku dan rekanku. Lbh dr itu, aku merasakan roda pemerintahan yang tidak benar. Karena itu aku menuliskan unek-unekku di blog ini. Tapi aku tak takut. Aku serahkan semuanya kepada Allah SWT, pemilik dan penguasa negeri ini. Aku tak takut PNS-ku hilang dan pemutasian. Aku berusaha meyakini ayat AlQur'an, waman yattaqillahu yaj'allahu mahraja wayarzuqhu min haytsu la yahtasib. Aku percaya bahwa urusan rizki itu ada pada Allah, Robbul Izzati, bukan pada Kadis dan Bupati Dimyati. Dan aku pun berharap kepada rekan-rekanku agar bisa membuka mata, hati, dan pikiran bahwa sebenarnya kita ditindas dan didzolimi.