Di sebuah tempat: kelam dan roboh
Dan di tempat lain mentereng meski rapuh
Atapnya dari rangka baja
Dindingdinding hijau menemani gambarku dan permaisuriku
Dan aku mengeruk untung dari pembangunan sekolah itu
Aku tak pernah memikirkan sarana praktek belajar yang memadai
Aku tak pernah memikirkan anak-anak terbang melayang
Di atas langit biru dan menari
Dalam tarian rumus-rumus ilmu pasti
Bersaing dengan anak-anak di tanah lain
Aku tak pernah memikirkan pelayanan suci
Tak ada tebaran buku
Tak menyebar kualitas guru
Hanya musola kecil yang terbengkalai
Yang kini menjadi tempat kencan
menjadi tempat kencing
Aku pisahkan kelas laki-laki dan perempuan
Aku sadar ini hambur biaya
Aku sadar akan bahaya
Tapi pemisahan kelas ini mendulang isi sakuku
Melebar pamorku
Ya, setelah program pemisahan kelas ini, suatu hari aku pernah mendengar dari para punggawa pendidikan tentang prilaku perempuan dan laki-laki di sekolah menengah yang kini terlihat beringas dan buas. Mereka diam ketika ada guru di kelas. Ketika istirahat tiba, mereka seperti merayakan kebebasan. Apalagi saat pulang sekolah. Tak jarang siswa tawuran. Mereka melepas ego-nya. Mereka seperti harimau yang kabur dari sarangnya.
Tak jarang juga melihat mereka (siswa/i) berkeliaran di sebuah tempat sunyi. Aku sendiri tidak tahu apa yang mereka lakukan. Barangkali mengerjakan tugas sekolah, bimbel, dan seterusnya. Tapi beberapa bulan kemudian, aku mendapat laporan bahwa ada beberapa siswi telat bulan. Inilah program pendidikanku yang sebenarnya: membuat siswa menjadi kerdil dan buas, dan membuat mereka mampu mencipta bayi dengan cepat dan sistematis.
Aku sadar bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dengan keunikan, dan tentu saling melengkapi. Mereka tumbuh dengan fakultas pikiran dan perasaan (emotional and cognition faculty). Hanya saja sebagian pengamat mengatakan bahwa pikiran lebih mendominasi laki-laki, dan sebaliknya. Agar sinerjis dan tidak ada yang dominan satu sama lain, maka mereka (laki-laki dan perempuan) harus membangun dua fakultas itu dengan jalinan komunikasi dan proses internalisasi. Mereka sebenarnya tidak boleh dipisah-pisahkan, dan harus disatukan. Sebab bila dipisahkan, maka jalinan komunikasi dan proses internalisasi itu akan terhenti. Itu kata pengamat.
Tetapi aku tak ingin menyatukan keduanya, aku tak butuh sinerjitas. Aku hanya ingin mengatakan (ini beberapa kali kukatakan) bahwa aku sebenarnya memanfaatkan kebodohan rakyatku, membiarkan mereka terlena dalam kebodohan; membiarkan mereka buas, beringas, manja, cengeng, kerdil, dan peminta-minta. Ya, itu semua akan memudahkan hasrat kuasaku…